PLERED, AYOCIREBON.COM -- Meski salah satu kepopuleran empal gentong terletak pada pemanfaatan gentong tanah liat sebagai alas olahannya, nyatanya peran gentong tak sesejati itu. Daya tahan menjadi alasan alumunium menggantikannya.
Adalah temperatur tinggi yang memengaruhi kesejatian gentong dalam proses pengolahan kuliner khas Cirebon ini. Bertahan pada historinya, kuah berisi daging kerbau (dulu) atau sapi (sekarang), tetap diolah dalam tempayan besar yang dibuat dari tanah liat itu.
Namun, paparan suhu panas yang melingkupi gentong membuatnya tak dapat terus bertahan. Pada suatu waktu, gentong dapat pecah dan membahayakan siapapun yang berada di sekitarnya.
Karena itu, belakangan panci alumunium mendampingi, bahkan pula menggantikan gentong tanah liat.
"Gentong tanah liat paling lama tahan 3-4 bulan. Dibakar terus-terusan (dalam proses pengolahan empal gentong) lama kelamaan gentong akan retak dan pecah," ungkap pemerhati budaya Cirebon yang juga pengajar budaya dan seni pada Politeknik Pariwisata Prima Internasional Cirebon, Mustaqim Asteja kepada Ayo Cirebon.
Daya tahan gentong tanah liat yang tak lebih lama dibanding panci alumunium pulalah yang menjadi alasan lain empal gentong khas Cirebon hanya berisi daging dan jeroan.
Menurut Mustaqim Asteja, tulang kerbau atau sapi tak bisa disertakan dalam olahan empal gentong karena bisa membuat tempayan itu pecah.
"Jadi, memang sejak dulu tulang tidak dimasukkan dalam kuah empal dan dimasak karena bisa bikin gentong tanah liatnya pecah," terangnya.
Sekalipun kini pengolahannya kebanyakan telah dialihkan ke dalam panci alumunium, empal gentong tetap tak menyertakan tulang.
Kepopuleran empal gentong yang konon dahulu merupakan makanan bagi kalangan ningrat di Cirebon ini, belakangan banyak ditemukan di daerah lain.
Di Cirebon sendiri, empal gentong menjadi kekhasan kawasan barat Kabupaten Cirebon, terutama Plered hingga Palimanan.
"Yang paling populer sampai sekarang Empal Gentong Plered. Dulu, kawasan itu Plered itu memanjang dari Trusmi sampai Kedawung, sebelum kemudian dimekarkan menjadi beberapa kecamatan seperti sekarang," tutur Mustaqim Asteja.
Di masa silam, empal gentong diantarkan kepada kaum ningrat dengan cara dipikul. Kebiasaan itu kemudian dilakukan para pedagang empal gentong kemudian.
Kini, menjajakan empal gentong dengan cara dipikul sudah sangat langka ditemukan. Rerata para pedagang memanfaatkan gerobak dorong untuk menjajakannya.