6 Sekolah Bersejarah di Kota Cirebon, Ada Taman Kanak-kanak hingga Tempat Istirahat Biksu

- Kamis, 10 Juni 2021 | 19:24 WIB
MPN 14 Cirebon sebagai salah satu bangunan cagar budaya yang pada masa kolonialisme Belanda merupakan taman kanak-kanak. (Frobelschool)
MPN 14 Cirebon sebagai salah satu bangunan cagar budaya yang pada masa kolonialisme Belanda merupakan taman kanak-kanak. (Frobelschool)

Pada 1903, rakyat Indonesia dari kelas terpandang diizinkan turut menuntut ilmu pada ELS.

Namun, peruntukan ELS kembali hanya bagi anak-anak Eropa setelah HIS dan HCS didirikan.

Sama seperti HCS, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Belanda dan masa pendidikan berlaku 7 tahun.

SDN Kebon Baru didirikan pada 1912. Sejak masa kemerdekaan, sekolah ini menjadi milik Pemerintah RI dan kini menjadi aset Pemkot Cirebon.

Mustaqim menyebut, eksistensi SDN Kebon Baru tak lepas pula dari perpindahan pusat pemerintahan Cirebon di zaman Belanda.

"Dulu, orang-orang Belanda tinggal di kawasan Cangkol, sebelum kemudian pindah ke kawasan Kejaksan yang jadi pusat pemerintahan Kota Cirebon sampai sekarang," tutur pengajar budaya dan seni pada Poltekpar Prima Internasional Cirebon ini.

SMPN 1 Cirebon

SMPN 1 Cirebon berada di Jalan Siliwangi, Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon.

Sekolah ini dibangun pada 1925. Disarikan dari buku yang sama, menurut catatan pimpinan pertama sekolah tersebut, Van der Muler, SMPN 1 Cirebon dahulu didirikan dengan nama Meer Uitgebreid Pager Onderwijs (MULO).

MULO ketika itu merupakan sekolah lanjutan ELS, Hollandsch Inlandsche School (HIS) atau sekolah bagi rakyat Indonesia keturunan bangsawan atau tokoh terkemuka, HCS, dan Schacelshool, yang secara etis terbuka untuk semua golongan.

Awalnya, sekolah ini hanya bagi orang Belanda. Hanya anak-anak Indonesia atau Cina dari kalangan tertentu saja yang dapat masuk sekolah ini.

Materi pelajaran disampaikan dalam bahasa Belanda, dengan masa menempuh pendidikan di ELS selama 3 tahun. Pimpinan sekolah, sejak 1926 hingga 1942 dipegang secara bergantian oleh orang Belanda.

Kala masa pendudukan Jepang, MULO berganti nama menjadi Chu Bakko (Chu = tengah; Bakko = sekolah).

Pemerintah pendudukan Jepang mengangkat Rd. Adjat Sudrajat sebagai kepala sekolah.

Berbeda dengan masa pendudukan Belanda, pada masa ini materi pelajaran diberikan dalam 2 bahasa, masing-masing bahasa Indonesia (Melajoe Oemoem) dan bahasa Jepang (Nippon-go) sebagai bahasa kenegaraan.

Ketika Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945 dan Indonesia merdeka, Chu Bakko lantas berganti nama menjadi SMP Negeri Cirebon.

Halaman:

Editor: Ananda Muhammad Firdaus

Tags

Terkini